Rabu, 29 Juli 2015

Muktamar NU ke-33: NU dan Paradigma Islam Nusantara


Oleh : Ahmad Muchlish Amrin

Menjelang dilaksanakan Muktamar NU ke-33 di Jombang tanggal 1-5 Agistus 2015, ramai-ramai dibicarakan tentang issue “Islam Nusantara” sebagai grand mind yang bakal diusung dalam acara Muktamar. Bukan tanpa alasan, issue Islam Nusantara merupakan bentuk kegelisahan para ulama’ atas merebaknya berbagai aliran Islam yang merasuk ke negeri ini.

Paham-paham Islam baru yang kian menggurita itu justeru memantik persoalan-persoalan lama yang sesungguhnya sudah selesai dalam perdebatan keislaman di Indonesia. Islam Arabisme yang lebih dikenal dengan paham Wahabi diimport dari timur tengah banyak membawa dampak yang kurang nyaman bagi interaksi keislaman di negeri ini.

Nahdhatul Ulama’ melalui mantan Ketua PBNU, Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (2008:77) , jauh-jauh hari sudah menyatakan secara jelas dan gamblang, bahwa menjadi muslim tidak harus mengubah segalanya menjadi serba Arab. Tidak harus mengubah panggilan “ayah” menjadi “abi”, tidak harus mengubah “saudara” menjadi “ikhwan”.

muktamar nu
Sumber Gambar: bandung.panduwisata.id


Indonesia yang menjadi bagian dari nusantara tentunya memiliki pola berislam sendiri yang tidak harus seragam dengan Islam yang berkibar di Arab Saudi. Islam Indonesia telah mengalami sebuah proses interaksi yang sangat lama dengan tradisi dan budaya nusantara. Islam Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip ajaran Islam secara mendasar, baik dalam prinsip kepemimpinan, kemasyarakatan, kebudayaan, pendidikan, dan seterusnya.

Islam budaya merupakan metode memahami dan menganut Islam dalam merangkul, meresap, mengalir dalam aliran darah kebudayaan nusantara. Sehingga antara Islam sebagai nilai mampu direalisasikan dalam sebuah komunitas masyarakat, sehingga nilai-nilai Islam dapat mengembangkan jati diri dan kekuatan sosial dalam masyarakatnya secara lebih luas (for self and social empowerment in the society at large).

Islam yang berkembang di nusantara telah mengalami akulturasi dengan masyarakat di masing-masing wilayah, sehingga warna Islam di Indonesia terlihat sangat beragam. Lihat saja bagaimana kaum muslim nusantara merespons ritualitas haji atau bulan Ramadhan dalam masyarakat Muslim Bugis, Jawa, Madura, Aceh, Dayak, dan lainnya. Kebiasaan-kebiasaan dalam penyambutan dengan berbagai macam tradisi dan budaya yang berbeda itulah yang kemudian kita sebut sebagai Budaya Islam Nusantara.

Memang secara kontruksi pelaksanaan sangat berbeda dengan tradisi budaya Arab saat ini, tetapi secara prinsip yang subtantif tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang diajarkan oleh Junjungan Nabi Muhammad Saw.

Pertanyaannya kemudian, mengapa sebagian Muslim Indonesia justeru ingin mengusung Arab ke Indonesia, padahal sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits Nabi, pola ajaran nabi dalam merealisasikan nilai-nilai Islam sangat berbeda antara di Makkah (sebelum hijrah) dan di Madinah (setelah hijrah). Artinya, saat itu Nabi sadar akan realitas budaya yang dihadapi, antara situasi sosial budaya di Makkah dan di Madinah. 

“Islam Nusantara” Sebagai Rahmatan Lil ‘Aalamiin
 
Satu dekade belakangan ini, ada beberapa kelompok yang menganut Islam Arabisme yang sedang memperjuangkan “khilafah” di negeri ini. Perjuangan menuju negara Islam tersebut tentu bertolak belakang dengan pola keislaman yang telah dilansir dan diperjuangkan oleh para pejuang Islam terdahulu seperti Walisongo.

Bahkan kelompok-kelompok tersebut ada yang menolak keberadaan walisongo. Gerakan tersebut mencerminkan sebuah gerakan yang anti Islam Nusantara. Padahal keberagaman Islam di nusantara ini merupakan warna yang dilindungi oleh Allah Swt. melalui konseprahmatan lil alamin.

Sumber Gambar: madinatuliman.com


Sudah sangat jelas, Islam bukan sekedar rahmatan lil muslimin, Islam adalah agama perdamaian yang mengakomudir semua perbedaan. Islam bukan sekedar sebuah institusi agama yang menekan setiap penganutnya untuk aktif dalam organisasi keberagamaan. Tetapi Islam adalah nilai-nilai kehidupan sosial budaya yang mampu menciptakan sebuah ruang kehidupan masyarakat yang tenang, tentram, sejahtera, dan damai.

Sebab itulah, setiap pertikaian yang mengatasnamakan Islam, sejatinya mereka sedang tidak menjalankan nilai-nilai Islam. Setiap sweeping yang mengusung bendera Islam, sejatinya mereka telah mencederai nilai-nilai Islam yang kaffah. Untuk itulah, Nahdhatul Ulama’ beserta para kiai, ingin mengembalikan masyarakat Islam Indonesia, agar sadar kembali akan nilai-nilai agama dan budaya di nusantara ini.

Kesalehan kita tentu tidak dilihat dari kopiah, surban, dan penampilan kita, melainkan dilihat pada seberapa besar kita ikhlas menjalankan nilai-nilai Islam dengan cara yang damai. Rasulullah Saw. pernah menegaskan : innallaaha la yandzuru ila shuawarikum wa ajsaamikum, wa laakinna allaaha yandzuru ilaa quluubikum Artinya sesungguhnya Allah Swt tidak melihat pada penampilan dan fisik kalian, tetapi allah mencermati hati kalian (HR. Bukhari Muslim).

Wacana dan Aksi Islam Nusantara
 
Munculnya gerakan-gerakan Islam anyar di negeri ini tak dapat dipungkiri merupakan bentuk kekecewaan terhadap gerakan-gerakan Islam seperti NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Persis, dan lain sebagainya. Sebagian penggerak organisasi Islam yang berada di jalur struktural tidak dapat memegang amanat umat dengan sebaik-baiknya.

Kepercayaan yang disaungkan ke pundak para pemimpin Islam, justeru meletakkan kepemimpinan sebagai bagian dari proses liberalisasi agama. Struktur pemerintahan yang dipegang oleh umat Islam yang menganut organisasi tertentu di nusantara ini tidak memberikan cerminan sebagai khalifah fil ard sebagaimana yang diimpikan kelompok Islam yang baru.

Sekularisme dan liberalisme adalah satu-satunya alasan yang memantik kelompok-kelompok baru itu bermunculan sebagai proyek Islam masa depan yang kaffah. Tetapi pada kenyataannya, ketika bendera rezim Islam yang baru dikibarkan, jadilah mereka sebuah rezim yang melawan rezim yang lain. Akhirnya, nilai-nilai yang akan dibangkitkan sebagai nilai Islam, kemudian dicederai oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang sangat parsial.

Jika Islam nusantara ini memang menjadi ikon yang ingin menghidupkan nilai-nilai kebenaran Islam semoga terus tumbuh berkembang di negeri ini. Akan tetapi, jika hanya akan menjadi sebuah rezim politik yang baru, yang akan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, semoga islam nusantara berhenti sebagai wacana saja.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar